Sabtu, 06 Oktober 2012


SIAPA SEBENARNYA SYI’AH?

Syi’ah termasuk salah satu aliran kepercayaan yang mengklaim sebagai bagian dari Islam. Tidak berbeda dengan aliran-aliran lainnya seperti Ahmadiyah, Syi’ah mengaku menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber ajarannya. Padahal kenyataannya, baik Ahmadiyah maupun Syi’ah, ajaran keduanya  berseberangan dengan Al-Qur’an.
Syi’ah termasuk aliran yang berkembang cukup baik di Indonesia. Termasuk  di Bandung, di mana salah satu tokoh Syi’ah yang bermukim di Bandung, kian getol menyebarkan ajaran Syi’ah. Hasilnya signifikan, Syi’ah berkembang pesat, bahkan mereka mampu menguasai salah satu pusat kegiatan Islam. Kehadirannya yang seolah mendapat legitimasi dari pemerintah, membuat masyarakat terutama mereka yang masih awam, mempertanyakan   dan bingung mengenai Syi’ah. Tak heran bila kemudian muncul pertanyaan, apa sebenarnya Syiah itu. Siapakah mereka? Apakah Syi’ah aliran baru? Apakah Syi’ah termasuk aliran sesat? Dan berbagai pertanyaan lainnya, yang berujung pada pertanyaan final: apakah Syi’ah sebuah madzhab dalam Islam. Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang sering terlontar, bukan hanya dari masyarakat awam, tapi kaum intelektual  pun dibuat bingung dengan kehadiran dan perkembanan Syi’ah.
Berbicara tentang Syi’ah, siapa sebenarnya mereka, bagaiamana ajarannya, apakah sesat atau tidak, untuk dapat menjawabnya mau tidak mau harus merunut dari sejarah kemunculannya. Karena keberadaannya tidak terlepas dari sejarah panjang kemelut yang menimpa umat Islam, ketika Islam menjadi salah satu kekuatan dunia.  
Sebelum kemunculan Islam dan menjelma menjadi kekuatan dunia, kekuasaan politik di wilayah itu terbagi pada dua kekuatan; Romawi dan Persia. Keduanya merupakan negara-negara adikuasa. Romawi sebagai bangsa yang memegang ajaran samawi, merekalah yang dikenal dengan sebutan ahli kitab. Sementara Persia sebagai bangsa yang menyembah api, ajaran animisme, dan majusi. Persia dikenal sebagai bangsa yang arogan, sombong, bahkan chauvinisme; menganggap bangsa lain sebagai bangsa yang hina, rendah dan tak berbudaya, termasuk bangsa Arab yang berpusat di kota Makkah.
Bangsa Arab yang sebenarnya termasuk wilayah kekuasaan Persia, namun mereka bermusuhan dengan Persia dan cenderung lebih mendukung Romawi, bila Romawi dan Persia terlibat perang. Bangsa Arab meski kenyataannya seperti itu; miskin, tak berbudaya, dan terkotak-kotak ke dalam kelompok kecil, namun mereka tak berbeda dengan watak Perisa, sama-sama congkak, sombong, gemar membanggakan diri, dan pemberani. Bangsa Arab tidak terima dengan perlakuan Persia dan para petingginya yang merendahkan mereka. Sehingga bangsa Arab balik menghina Persia, bahkan tak jarang menantangnya untuk berperang.
Bangsa Arab dan Persia sering terlibat adu mulut saling menghina dan menjatuhkan. Kedua kelompok itu, Arab dan Persia seolah menjadi musuh bebuyutan, yang saling dendam satu sama lain. Puncaknya, pecah sebuah peperangan Dzu Qor. Sebuah peperangan yang sangat dahsyat. Yang mengejutkan, peperangan dahsyat tersebut justru dimenangkan oleh bangsa Arab, yang notabene sebuah bangsa kecil dan miskin. Persia sebagai negara/kerajaan yang besar, porak poranda di tangan bangsa Arab.  Sejak saat itu, bangsa Persia menjadi bagian dari kekuasaan Arab. Bangsa Persia yang sombong, arogan dan congkak, mau tak mau harus bertekuk lutut kepada bangsa Arab. Dari keadaannya yang seperti inilah, bangsa Persia menyimpan dendam yang sangat dalam terhadap bangsa Arab.
Muhammad bin Abdullah, salah satu warga bangsa Arab, diangkat menjadi Rasulullah SAW  dengan membawa ajaran Islam. Kehadirannya sebagai seorang rasul, telah membawa perubahan yang besar bagi bangsa Arab. Di bawah kepemimpinan Muhammad SAW, bangsa Arab menjadi kekuatan yang diperhitungkan dunia. Banyak kerajaan-kerajaan kecil maupun besar tunduk di bawah pemerintahannya. Sehingga kekuasaan bangsa Arab di bawah payung Islam meluas ke Jazirah Arab dan wilayah-wilayah lainnya.  Tentara Islam melakukan ekspansi menaklukan kerajaan-kerajaan dan berhasil menjadikannya sebagai bagian dari negara Islam. Keadaan tersebut berlangsung terus menerus, turun temurun sampai tampuk kekuasaan dipegang para sahabat sepeninggal Rasulullah SAW. Sepeninggal beliau, para sahabat semakin giat menyebarkan ajaran Islam, hingga kekuasaan Islam semakin meluas. Orang-orang Persia yang telah lama menjadi bagian dari kekuasaan Arab, semakin iri dengan kemajuan Islam dan menaruh dendam kepadanya. 
Kepemimpinan Islam sepeninggal Rasulullah SAW., dipegang oleh para sahabat; Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, dan terakhir,  Ali bin Abi Talib, ridwaanalloohu anhum. Di masa kepemimpinannya ini, banyak terjadi pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan orang-orang yang mengatas-namakan para khalifah pendahulu Ali. Melihat situasi ini, orang-orang Persia yangsudah masuk Islam tetapi tetap menaruh dendam, memanfaatkan situasi, menyusup dan menyebarkan fitnah di tengah-tengah umat Islam. Fitnah yang mereka sebar, berhasil menghasut para sahabat dan umat Islam secara umum, sehingga bentrokan sesama umat Islam pun tak terhindarkan. Puncaknya, karena fitnah yang disebar orang-orang Persia, kelompok Mu’awiyah melakukan pemberontakan terhadap Ali. Khalifah Ali, tak luput dari fitnah yang disebar orang-orang Persia. Ia kemudian membawa pasukan untuk menumpas Mu’awiyah dan pasukannya. Maka, terjadilah peperangan sesama umat Islam, Khalifah Ali dan Mu’awiyah. Keduanya adalah sahabat Nabi SAW., yang berperang akibat fitnah yang disebar orang-orang Persia, yang sejak lama menginginkan kehancuran Islam.
Di kemudian hari, pemerintahan Islam jatuh ke tangan Mu’awiyah. Orang-orang Persia kembali menafaatkan situasi. Dengan mengatas-namakan sebagai pengikut Ali, mereka menghasut keluarga dan keturunan Ali, termasuk Hasan dan Husein untuk menuntut balas terhadap Mu’awiyah. Fitnah yang mereka sebar berhasil menggerakkan Husein untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Mu’awiyah. Akibatnya,  tragedi Karbala tak terhindarkan. Dan sejak saat itu, orang-orang Persia memproklamirkan kelompoknya, berpura-pura sebagai pembela keluarga Ali yang juga sebagai keluarga Nabi SAW. Sejak saat itu pula, mereka mempropagandakan ahlul bait, dan menyatakan permusuhan kepada   seluruh umat Islam di luar kelompok mereka. Bahkan, mereka menuduh para sahabat pendahulu Ali, terutama Abu Bakar dan Umar sebagai pengkhianat Ali. Tuduhan ini dilakukan orang-orang Persia sebagai upaya untuk membenturkan umat Islam, agar saling memusuhi. Ujungnya yang mereka inginkan adalah, umat Islam yang merupakan bangsa Arab perang saudara, sehingga dengan sendirinya mereka akan hancur. Lalu orang-orang Persia akan mengambil alih kekuasaan, dan menjadi penguasa seperti sebelumnya. 
Propaganda yang mereka lakukan berhasil membius pikiran sebagian umat Islam, termasuk mereka yang benar-benar keturunan Ali ra. Sehingga mereka, memusuhi semua umat Islam, dan tanpa sadar mengamalkan doktrin-doktrin orang-orang Persia yang mengaku sebagai bagian dari ahlul bait. Sejak saat itulah, muncul kelompok Syi’ah, kelompok yang berpura-pura sebagai umat Islam, kelompok yang mengaku sebagai ahlul bait, kelompok yang berpura-pura sebagai pengikut setia Ali ra., kelompok yang berpura-pura sebagai keluarga  Nabi Muhammad SAW.
Pada perkembangan berikutnya, kelompok Syi’ah menghidupkan kembali tradisi dan ritual agama mereka saat berkuasa sebagai bangsa Persia. Orang-orang Persia yang beragama majusi, berbalut dendam kepada orang Arab yang kini beragama Islam, menggunakan topeng ahlul bait, menyebarkan ajarannya untuk menhancurkan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, salah satu warga Arab, bangsa yang menjadi musuh bebuyutan mereka.
Dengan demikian dapat ditarik benang merah. Siapa sebenarnya Syi’ah? Jawabannya, Syi’ah adalah sisa-sisa ajaran Majusi yang dihidupkan kembali dan menggunakan Islam sebagai topengnya. Berarti, Syi’ah bukanlah Islam. Syi’ah bukan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Syi’ah bukan kelompok yang mencintai Ali. Syi’ah bukan kelompok yang membela Husein dan keluarganya. Syi’ah bukan ahlul bait. Syi’ah adalah non muslim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar