SIAPA SEBENARNYA SYI’AH?
Oleh: I.
Kurniawan As-Saubani*
Syi’ah
termasuk salah satu aliran kepercayaan yang mengklaim sebagai bagian dari
Islam. Tidak berbeda dengan aliran-aliran lainnya seperti Ahmadiyah, Syi’ah
mengaku menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber ajarannya. Padahal kenyataannya,
baik Ahmadiyah maupun Syi’ah, ajaran keduanya
berseberangan dengan Al-Qur’an.
Syi’ah termasuk aliran yang berkembang cukup baik di
Indonesia. Termasuk di Bandung, di mana
salah satu tokoh Syi’ah yang bermukim di Bandung, kian getol menyebarkan ajaran
Syi’ah. Hasilnya signifikan, Syi’ah berkembang pesat, bahkan mereka mampu
menguasai salah satu pusat kegiatan Islam. Kehadirannya yang seolah mendapat
legitimasi dari pemerintah, membuat masyarakat terutama mereka yang masih awam,
mempertanyakan dan bingung mengenai
Syi’ah. Tak heran bila kemudian muncul pertanyaan, apa sebenarnya Syiah itu.
Siapakah mereka? Apakah Syi’ah aliran baru? Apakah Syi’ah termasuk aliran
sesat? Dan berbagai pertanyaan lainnya, yang berujung pada pertanyaan final:
apakah Syi’ah sebuah madzhab dalam Islam. Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah
yang sering terlontar, bukan hanya dari masyarakat awam, tapi kaum
intelektual pun dibuat bingung dengan
kehadiran dan perkembanan Syi’ah.
Berbicara tentang Syi’ah, siapa sebenarnya mereka,
bagaiamana ajarannya, apakah sesat atau tidak, untuk dapat menjawabnya mau
tidak mau harus merunut dari sejarah kemunculannya. Karena keberadaannya tidak
terlepas dari sejarah panjang kemelut yang menimpa umat Islam, ketika Islam
menjadi salah satu kekuatan dunia.
Sebelum kemunculan Islam dan menjelma menjadi kekuatan
dunia, kekuasaan politik di wilayah itu terbagi pada dua kekuatan; Romawi dan
Persia. Keduanya merupakan negara-negara adikuasa. Romawi sebagai bangsa yang
memegang ajaran samawi, merekalah yang dikenal dengan sebutan ahli kitab.
Sementara Persia sebagai bangsa yang menyembah api, ajaran animisme, dan
majusi. Persia dikenal sebagai bangsa yang arogan, sombong, bahkan chauvinisme;
menganggap bangsa lain sebagai bangsa yang hina, rendah dan tak berbudaya,
termasuk bangsa Arab yang berpusat di kota Makkah.
Bangsa Arab yang sebenarnya termasuk wilayah kekuasaan
Persia, namun mereka bermusuhan dengan Persia dan cenderung lebih mendukung
Romawi, bila Romawi dan Persia terlibat perang. Bangsa Arab meski kenyataannya
seperti itu; miskin, tak berbudaya, dan terkotak-kotak ke dalam kelompok kecil,
namun mereka tak berbeda dengan watak Perisa, sama-sama congkak, sombong, gemar
membanggakan diri, dan pemberani. Bangsa Arab tidak terima dengan perlakuan
Persia dan para petingginya yang merendahkan mereka. Sehingga bangsa Arab balik
menghina Persia, bahkan tak jarang menantangnya untuk berperang.
Bangsa Arab dan Persia sering terlibat adu mulut
saling menghina dan menjatuhkan. Kedua kelompok itu, Arab dan Persia seolah
menjadi musuh bebuyutan, yang saling dendam satu sama lain. Puncaknya, pecah
sebuah peperangan Dzu Qor. Sebuah peperangan
yang sangat dahsyat. Yang mengejutkan, peperangan dahsyat tersebut justru dimenangkan
oleh bangsa Arab, yang notabene sebuah bangsa kecil dan miskin. Persia sebagai
negara/kerajaan yang besar, porak poranda di tangan bangsa Arab. Sejak saat itu, bangsa Persia menjadi bagian
dari kekuasaan Arab. Bangsa Persia yang sombong, arogan dan congkak, mau tak
mau harus bertekuk lutut kepada bangsa Arab. Dari keadaannya yang seperti
inilah, bangsa Persia menyimpan dendam yang sangat dalam terhadap bangsa Arab.
Muhammad bin Abdullah, salah satu warga bangsa Arab,
diangkat menjadi Rasulullah SAW dengan
membawa ajaran Islam. Kehadirannya sebagai seorang rasul, telah membawa
perubahan yang besar bagi bangsa Arab. Di bawah kepemimpinan Muhammad SAW,
bangsa Arab menjadi kekuatan yang diperhitungkan dunia. Banyak
kerajaan-kerajaan kecil maupun besar tunduk di bawah pemerintahannya. Sehingga
kekuasaan bangsa Arab di bawah payung Islam meluas ke Jazirah Arab dan
wilayah-wilayah lainnya. Tentara Islam
melakukan ekspansi menaklukan kerajaan-kerajaan dan berhasil menjadikannya
sebagai bagian dari negara Islam. Keadaan tersebut berlangsung terus menerus,
turun temurun sampai tampuk kekuasaan dipegang para sahabat sepeninggal
Rasulullah SAW. Sepeninggal beliau, para sahabat semakin giat menyebarkan
ajaran Islam, hingga kekuasaan Islam semakin meluas. Orang-orang Persia yang
telah lama menjadi bagian dari kekuasaan Arab, semakin iri dengan kemajuan
Islam dan menaruh dendam kepadanya.
Kepemimpinan Islam sepeninggal Rasulullah SAW., dipegang
oleh para sahabat; Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan,
dan terakhir, Ali bin Abi Talib, ridwaanalloohu anhum. Di masa
kepemimpinannya ini, banyak terjadi pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan
orang-orang yang mengatas-namakan para khalifah pendahulu Ali. Melihat situasi
ini, orang-orang Persia yangsudah masuk Islam tetapi tetap menaruh dendam,
memanfaatkan situasi, menyusup dan menyebarkan fitnah di tengah-tengah umat
Islam. Fitnah yang mereka sebar, berhasil menghasut para sahabat dan umat Islam
secara umum, sehingga bentrokan sesama umat Islam pun tak terhindarkan.
Puncaknya, karena fitnah yang disebar orang-orang Persia, kelompok Mu’awiyah
melakukan pemberontakan terhadap Ali. Khalifah Ali, tak luput dari fitnah yang
disebar orang-orang Persia. Ia kemudian membawa pasukan untuk menumpas Mu’awiyah
dan pasukannya. Maka, terjadilah peperangan sesama umat Islam, Khalifah Ali dan
Mu’awiyah. Keduanya adalah sahabat Nabi SAW., yang berperang akibat fitnah yang
disebar orang-orang Persia, yang sejak lama menginginkan kehancuran Islam.
Di kemudian hari, pemerintahan Islam jatuh ke tangan
Mu’awiyah. Orang-orang Persia kembali menafaatkan situasi. Dengan mengatas-namakan
sebagai pengikut Ali, mereka menghasut keluarga dan keturunan Ali, termasuk
Hasan dan Husein untuk menuntut balas terhadap Mu’awiyah. Fitnah yang mereka
sebar berhasil menggerakkan Husein untuk melakukan pemberontakan terhadap
pemerintahan Mu’awiyah. Akibatnya, tragedi Karbala tak terhindarkan. Dan sejak
saat itu, orang-orang Persia memproklamirkan kelompoknya, berpura-pura sebagai pembela
keluarga Ali yang juga sebagai keluarga Nabi SAW. Sejak saat itu pula, mereka
mempropagandakan ahlul bait, dan menyatakan permusuhan kepada seluruh umat Islam di luar kelompok mereka.
Bahkan, mereka menuduh para sahabat pendahulu Ali, terutama Abu Bakar dan Umar
sebagai pengkhianat Ali. Tuduhan ini dilakukan orang-orang Persia sebagai upaya
untuk membenturkan umat Islam, agar saling memusuhi. Ujungnya yang mereka
inginkan adalah, umat Islam yang merupakan bangsa Arab perang saudara, sehingga
dengan sendirinya mereka akan hancur. Lalu orang-orang Persia akan mengambil
alih kekuasaan, dan menjadi penguasa seperti sebelumnya.
Propaganda yang mereka lakukan berhasil membius
pikiran sebagian umat Islam, termasuk mereka yang benar-benar keturunan Ali ra.
Sehingga mereka, memusuhi semua umat Islam, dan tanpa sadar mengamalkan
doktrin-doktrin orang-orang Persia yang mengaku sebagai bagian dari ahlul bait.
Sejak saat itulah, muncul kelompok Syi’ah, kelompok yang berpura-pura sebagai
umat Islam, kelompok yang mengaku sebagai ahlul bait, kelompok yang
berpura-pura sebagai pengikut setia Ali ra., kelompok yang berpura-pura sebagai
keluarga Nabi Muhammad SAW.
Pada perkembangan berikutnya, kelompok Syi’ah
menghidupkan kembali tradisi dan ritual agama mereka saat berkuasa sebagai
bangsa Persia. Orang-orang Persia yang beragama majusi, berbalut dendam kepada
orang Arab yang kini beragama Islam, menggunakan topeng ahlul bait, menyebarkan
ajarannya untuk menhancurkan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, salah satu
warga Arab, bangsa yang menjadi musuh bebuyutan mereka.
Dengan demikian dapat ditarik benang merah. Siapa
sebenarnya Syi’ah? Jawabannya, Syi’ah adalah sisa-sisa ajaran Majusi yang
dihidupkan kembali dan menggunakan Islam sebagai topengnya. Berarti, Syi’ah
bukanlah Islam. Syi’ah bukan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Syi’ah bukan
kelompok yang mencintai Ali. Syi’ah bukan kelompok yang membela Husein dan
keluarganya. Syi’ah bukan ahlul bait. Syi’ah adalah non muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar