Sabtu, 06 Oktober 2012


Hukum Bagi Waris Ketika Masih Hidup

ما حكم من يقسِّم أمواله وهو على قيد الحياة، ويكتب في القسمة بيع وشراء احتيالاً على الشرع، ولكنه لا يأخذ قيمة هذه الأموال، ولكن يأخذ جزءاً من الثمار سنوياً على قدر حاجته، ما حكم هذه القسمة إذا كانت غير صحيحة، وما حكم كاتبها وشاهدها، وعلى من تكون الزكاة،
Pertanyaan, “Apa hukum orang yang melakukan pembagian warisanya ketika yang bersangkutan masih hidup. Secara hitam di atas putih yang tercatat –dalam rangka menyiasati aturan agama- adalah transaksi jual beli padahal sebenarnya adalah pembagian waris. Pada kenyataan yang bersangkutan tidak mengambil uang dari ‘jual beli’ yang dilakukan. Dia hanya mengambil hasil bumi dari tanah tersebut sesuai dengan kebutuhan setiap tahunnya. Apa hukum pembagian semacam ini jika pembagian ini adalah pembagian yang tidak sah? Apa status hukum untuk juru tulis dan saksi dalam pembagian ini? Siapakah yang berkewajiban membayarkan zakat untuk harta tersebut?”
هذا القسمة إن كانت على شرع الله بين أولاده وورثته على شرع الله فلا حرج فيها،
Jawaban Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, “Jika pembagian harta warisan di antara anak dan ahli waris tersebut sesuai dengan syariat Allah maka hukumnya adalah tidak mengapa.
ولكن ترك القسمة أولى، حتى لا يحتاج إلى أحد، حتى يأكل منها ويستفيد،
Meski yang lebih baik adalah menunda pembagian warisan sampai yang bersangkutan meninggal dunia. Sehingga dia tidak membutuhkan uluran tangan orang lain meski anaknya sendiri, sehingga dia bisa memanfaatkan hartanya sendiri dan memenuhi kebutuhan makannya dari harta tersebut.
لكن إذا قسمها بينهم ولو باسم البيع، ولم يزد أحد على أحد، بل أعطاهم كما شرع الله فكونه جعلها باسم البيع هذا كذب، وعليه التوبة إلى الله من ذلك،
Akan tetapi jika dia melakukan pembagian warisan dengan kedok jual beli namun pembagiannya sesuai dengan prosedur syariat tidak ada yang dilebihkan sebagaimana tidak ada yang dikurangi maka status ‘jual beli’ inilah yang bermasalah karena ini adalah kebohongan. Orang tersebut wajib bertaubat kepada Allah karenanya.
وهو على قسمه لهم، كل واحد يجيه نصيبه، وله أن يأكل من ثمرتها إذا كان أبوه إذا كان هو الأب له أن يأكل،
Orang tersebut wajib menerima dampak dari pembagian yang telah dia lakukan. Setiap dari ahli waris berhak atas bagiannya. Sedangkan orang yang bersangkutan boleh menikmati hasil bumi dari tanah yang telah dia bagikan jika yang bersangkutan adalah ayah dari orang yang menerima bagian tersebut.
أما إذا كان ليس بالأب بل أعطاهم إياه ما عاد لهم حق فيها، إذا قسمها بين إخوانه أو بين بني عمه فملكوها إذا أعطاهم إياها وقبضوها ملكوها ما عاد له حق فيها،
Namun jika yang bersangkutan itu bukan ayah dari penerima warisan maka yang bersangkutan sudah tidak lagi memiliki hak dalam harta yang telah dia bagikan.
Jika harta warisan telah dia bagikan di antara saudaranya atau pun keponakannya yang memang berhak mendapatkan warisan maka ahli waris tersebut memiliki harta tersebut jika telah diberikan kepadanya dan mereka telah menerimanya. Ketika itu yang bersangkutan tidak lagi memiliki hak atas harta yang telah dia berikan.
أما إذا كانوا أولاده فله أن يأكل منها ولو بعد القسمة، لأن الإنسان له أن يأكل من مال ولده، (أنت ومالك لأبيك)،
Akan tetapi jika penerima warisan adalah anak maka ayah boleh memakan hasil dari tanah yang dia wariskan kepada anaknya meski setelah pembagian dilakukan. Seorang ayah itu boleh menikmati harta anaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu”.
ولكن ليس له أن يقسمها على غير الشرع، يبيعها إليهم حتى يعطي هذا زيادة وهذا الولد يعطيه زيادة، وهذه البنت يعطيها زيادة ما يجوز، هذا حرام منكر، وجعل البيع حيلة،
Orang yang bersangkutan tidak boleh melakukan pembagian warisan yang tidak sesuai dengan aturan syariat. Dia berpura-pura melakukan transaksi jual beli agar sebagian anak bisa dia beri bagian lebih dari yang seharusnya diterima jika mengikuti aturan syariat. Anak perempuan bisa diberi jatah dari yang seharusnya didapatkan, misalnya. Jika demikian kondisi realnya maka ini adalah haram dan kemungkaran. Transaksi jual beli hanya untuk kedok saja agar bisa mensiasati aturan syariat.
أما إذا قسمهم للذكر مثل حظ الأنثيين وجعلها باسم البيع وهو يكذب ما في بيع فهو آثم بالكذب، والقسمة في محلها،
Jika dia berikan kepada anak laki-laki semisal dua bagian anak perempuan namun berdusta dengan memakai kedok jual beli karena pada realitanya tidak terdapat transaksi jual beli maka orang tersebut berdosa karena telah berdusta sedangkan pembagian warisan yang telah dilakukan tidaklah bermasalah.
إذا كان مثل عنده أراضي قسمها بينهم للذكر مثل حظ الأنثيين ولم يزد ولم ينقص ولم يحتل لم يجعلها باسم البيع لغرض من الأغراض فلا يضره ذلك، لا يضره،
Jika orang tersebut memiliki beberapa bidang tanah lalu dia bagikan di antara anak-anaknya dengan aturan untuk anak laki-laki bagian dua anak perempuan, tanpa ada penambahan ataupun pengurangan maka pembagian yang terjadi tidaklah bermasalah. Jadi jika kedok jual beli tersebut tidak bersifat tendesius maka pembagian yang terjadi tidaklah masalah.
وإذا كان كاذباً وليس هناك شيء مبيح، فهو غلطان في تسمية البيع، يكون يحتسب عليه الكذب، إلا إذا كان له عذر في الكذب هذا، لأنه يخاف أن يصادرها أحد أو كذا، إذا كان له عذر شرعي فلا حرج،
Jika orang tersebut berdusta tanpa ada faktor yang membenarkannya untuk berdusta maka dia telah melakukan kesalahan dengan menamai pembagian tersebut dengan nama ’jual beli’. Apa yang dia lakukan dinilai sebagai sebuah kebohongan kecuali jika punya alasan kuat untuk melakukan kebohongan tersebut semisal dia khawatir ada pihak lain yang merampas pembagian yang terjadi atau alasan lain yang bisa dibenarkan. Jika dia memiliki alasan yang bisa diterima oleh hukum syariat untuk melakukan kebohongan maka tidak mengapa.
المقصود إذا كانت القسمة موافقة للشرع بين أبنائه أو زوجاته ونحو ذلك فلا بأس،
Intinya, jika pembagian warisan di antara anak dan isteri tersebut sesuai dengan aturan syariat maka hukumnya adalah tidak mengapa.
أما إذا كانت مخالفة للشرع فلا يجوز،
Namun jika pembagiannya tidak sesuai dengan aturan syariat maka ini adalah pembagian yang tidak diperbolehkan.
أما بالنسبة للإخوة أو للأقارب الآخرين كبني العم يجوز أن يفضل بعضهم على بعض وهو حي صحيح، تصير عطية، إذا قسم بينهم تصير عطية لا بأس أن يعطي أخاه كذا، ويعطي ابن أخيه كذا، وخاله كذا لا بأس أن يعطيهم، مو على حسب الميراث،
Pembagian harta untuk saudara atau kerabat semisal keponakan boleh ada pengistimewaan. Sebagian kerabat itu lebih banyak dari pada yang lain. Jika pembagian harta untuk kerabat ini dilakukan manakala yang bersangkutan masih segar waras status hukumnya adalah hibah. Dalam hibah untuk kerabat boleh ada pengistimewaan, yang satu lebih banyak dari pada yang lain. Untuk saudara sekian, untuk sepupu sekian dan untuk keponakan sekian. Pembagian yang tidak adil semisal ini hukumnya boleh, tidak harus sesuai ketentuan ilmu waris.
ما يلزمه أن يكون على حسب الميـراث، لأن هذا خاص بالأولاد، الرسول قال: (اتقوا الله واعدلوا بين أولادكم)،
Pembagian harta untuk kerabat itu tidak harus mengikuti aturan ilmu waris. Aturan ilmu waris hanya berlaku untuk hibah harta kepada anak.
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bertakwalah kepada Allah dan bersikap adillah dalam hibah harta di antara anak kalian”.
ما قال: اتقوا الله واعدلوا بين الورثة، قال: (واعدلوا بين أولادكم)،
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Bertakwalah kepada Allah dan bersikap adillah dalam hibah harta di antara ahli waris kalian”. Yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan, ”Dan bersikap adillah dalam hibah harta di antara anak kalian
فلو كان له أخوان، وأعطى المال واحدا من إخوانه ولم يعط الآخر لا حرج عليه،
Andai yang bersangkutan memiliki dua saudara lalu salah satunya dia beri sedangkan saudara yang lain tidak dia beri maka orang tersebut tidak berdosa.
أو أعطاهما متفاضلين لا حرج عليه، أو أعطى خاله وخلى بني عمه، أعطى خاله لا بأس، ما دام في الصحة ما هو بمريض
Atau pemberian antara satu saudara dengan saudara yang lain itu tidak sama, hukumnya juga tidak mengapa. Demikian pula jika dia berikan harta kepada pamannya tanpa sepupunya hukumnya adalah tidak mengapa dengan syarat yang bersengkutan ketika menghibahkan harta kepada kerabat tersebut dalam keadaan sehat, bukan dalam kondisi sakit.
. لكن الأولى له والذي ينبغي له أن يخلِّي له شيء يعنيه وينفعه حتى لا يمن عليه الناس ويتصدقوا عليه، إما يخلي المال كله أو يخلي شيء يفيده وينفعه حتى الموت.
Namun yang lebih baik dan yang sepatutnya dilakukan adalah mensisakan untuk yang bersangkutan sebagian harta dinilai penting dan bermanfaat baginya sehingga dia tidak berhutang budi kepada orang lain karena menerima sedekah dari banyak orang. Yang terbaik adalah tidak melakukan pembagian harta waris ketika masih hidup atau menyisakan sebagian harta yang bermanfaat dan bisa dimanfaatkan hingga yang bersangkutan tutup usia”.
Sumber:
http://binbaz.org.sa/mat/13172

Tidak ada komentar:

Posting Komentar