Hukum Bagi Waris
Ketika Masih Hidup
ما حكم من يقسِّم أمواله
وهو على قيد الحياة، ويكتب في القسمة بيع وشراء احتيالاً على الشرع، ولكنه لا
يأخذ قيمة هذه الأموال، ولكن يأخذ جزءاً من الثمار سنوياً على قدر حاجته، ما حكم هذه القسمة إذا كانت
غير صحيحة، وما حكم كاتبها وشاهدها، وعلى من تكون الزكاة،
Pertanyaan, “Apa hukum orang yang melakukan pembagian warisanya ketika yang
bersangkutan masih hidup. Secara hitam di atas putih yang tercatat –dalam
rangka menyiasati aturan agama- adalah transaksi jual beli padahal sebenarnya
adalah pembagian waris. Pada kenyataan yang bersangkutan tidak mengambil uang
dari ‘jual beli’ yang dilakukan. Dia hanya mengambil hasil bumi dari tanah
tersebut sesuai dengan kebutuhan setiap tahunnya. Apa hukum pembagian semacam
ini jika pembagian ini adalah pembagian yang tidak sah? Apa status hukum untuk
juru tulis dan saksi dalam pembagian ini? Siapakah yang berkewajiban
membayarkan zakat untuk harta tersebut?”
هذا القسمة إن كانت على
شرع الله بين أولاده وورثته على شرع الله فلا حرج فيها،
Jawaban Syaikh Ibnu Baz rahimahullah,
“Jika pembagian harta warisan di antara anak dan ahli waris tersebut sesuai
dengan syariat Allah maka hukumnya adalah tidak mengapa.
ولكن ترك القسمة أولى،
حتى لا يحتاج إلى أحد، حتى يأكل منها ويستفيد،
Meski yang lebih baik adalah
menunda pembagian warisan sampai yang bersangkutan meninggal dunia. Sehingga
dia tidak membutuhkan uluran tangan orang lain meski anaknya sendiri, sehingga
dia bisa memanfaatkan hartanya sendiri dan memenuhi kebutuhan makannya dari
harta tersebut.
لكن إذا قسمها بينهم ولو
باسم البيع، ولم يزد أحد على أحد، بل أعطاهم كما شرع الله فكونه جعلها باسم البيع هذا
كذب، وعليه التوبة إلى الله من ذلك،
Akan tetapi jika dia melakukan
pembagian warisan dengan kedok jual beli namun pembagiannya sesuai dengan
prosedur syariat tidak ada yang dilebihkan sebagaimana tidak ada yang dikurangi
maka status ‘jual beli’ inilah yang bermasalah karena ini adalah kebohongan.
Orang tersebut wajib bertaubat kepada Allah karenanya.
وهو على قسمه لهم، كل
واحد يجيه نصيبه، وله أن يأكل من ثمرتها إذا كان أبوه إذا كان هو الأب له أن يأكل،
Orang tersebut wajib menerima
dampak dari pembagian yang telah dia lakukan. Setiap dari ahli waris berhak
atas bagiannya. Sedangkan orang yang bersangkutan boleh menikmati hasil bumi
dari tanah yang telah dia bagikan jika yang bersangkutan adalah ayah dari orang
yang menerima bagian tersebut.
أما إذا كان ليس بالأب بل
أعطاهم إياه ما عاد لهم حق فيها، إذا قسمها بين إخوانه أو بين بني عمه فملكوها إذا
أعطاهم إياها وقبضوها ملكوها ما عاد له حق فيها،
Namun jika yang bersangkutan itu
bukan ayah dari penerima warisan maka yang bersangkutan sudah tidak lagi
memiliki hak dalam harta yang telah dia bagikan.
Jika harta warisan telah dia
bagikan di antara saudaranya atau pun keponakannya yang memang berhak
mendapatkan warisan maka ahli waris tersebut memiliki harta tersebut jika telah
diberikan kepadanya dan mereka telah menerimanya. Ketika itu yang bersangkutan
tidak lagi memiliki hak atas harta yang telah dia berikan.
أما إذا كانوا أولاده فله
أن يأكل منها ولو بعد القسمة، لأن الإنسان له أن يأكل من مال ولده، (أنت ومالك لأبيك)،
Akan tetapi jika penerima warisan
adalah anak maka ayah boleh memakan hasil dari tanah yang dia wariskan kepada
anaknya meski setelah pembagian dilakukan. Seorang ayah itu boleh menikmati
harta anaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau
dan hartamu adalah milik ayahmu”.
ولكن ليس له أن يقسمها
على غير الشرع، يبيعها إليهم حتى يعطي هذا زيادة وهذا الولد يعطيه زيادة، وهذه البنت
يعطيها زيادة ما يجوز، هذا حرام منكر، وجعل البيع حيلة،
Orang yang bersangkutan tidak boleh
melakukan pembagian warisan yang tidak sesuai dengan aturan syariat. Dia
berpura-pura melakukan transaksi jual beli agar sebagian anak bisa dia beri
bagian lebih dari yang seharusnya diterima jika mengikuti aturan syariat. Anak
perempuan bisa diberi jatah dari yang seharusnya didapatkan, misalnya. Jika
demikian kondisi realnya maka ini adalah haram dan kemungkaran. Transaksi jual
beli hanya untuk kedok saja agar bisa mensiasati aturan syariat.
أما إذا قسمهم للذكر مثل
حظ الأنثيين وجعلها باسم البيع وهو يكذب ما في بيع فهو آثم بالكذب، والقسمة في محلها،
Jika dia berikan kepada anak
laki-laki semisal dua bagian anak perempuan namun berdusta dengan memakai kedok
jual beli karena pada realitanya tidak terdapat transaksi jual beli maka orang
tersebut berdosa karena telah berdusta sedangkan pembagian warisan yang telah
dilakukan tidaklah bermasalah.
إذا كان مثل عنده أراضي
قسمها بينهم للذكر مثل حظ الأنثيين ولم يزد ولم ينقص ولم يحتل لم يجعلها باسم البيع لغرض
من الأغراض فلا يضره ذلك، لا يضره،
Jika orang tersebut memiliki
beberapa bidang tanah lalu dia bagikan di antara anak-anaknya dengan aturan
untuk anak laki-laki bagian dua anak perempuan, tanpa ada penambahan ataupun
pengurangan maka pembagian yang terjadi tidaklah bermasalah. Jadi jika kedok
jual beli tersebut tidak bersifat tendesius maka pembagian yang terjadi
tidaklah masalah.
وإذا كان كاذباً وليس
هناك شيء مبيح، فهو غلطان في تسمية البيع، يكون يحتسب عليه الكذب، إلا إذا كان له عذر في
الكذب هذا، لأنه يخاف أن يصادرها أحد أو كذا، إذا كان له عذر شرعي فلا حرج،
Jika orang tersebut berdusta tanpa
ada faktor yang membenarkannya untuk berdusta maka dia telah melakukan
kesalahan dengan menamai pembagian tersebut dengan nama ’jual beli’. Apa yang
dia lakukan dinilai sebagai sebuah kebohongan kecuali jika punya alasan kuat
untuk melakukan kebohongan tersebut semisal dia khawatir ada pihak lain yang
merampas pembagian yang terjadi atau alasan lain yang bisa dibenarkan. Jika dia
memiliki alasan yang bisa diterima oleh hukum syariat untuk melakukan
kebohongan maka tidak mengapa.
المقصود إذا كانت القسمة
موافقة للشرع بين أبنائه أو زوجاته ونحو ذلك فلا بأس،
Intinya, jika pembagian warisan di
antara anak dan isteri tersebut sesuai dengan aturan syariat maka hukumnya
adalah tidak mengapa.
أما إذا كانت مخالفة
للشرع فلا يجوز،
Namun jika pembagiannya tidak
sesuai dengan aturan syariat maka ini adalah pembagian yang tidak
diperbolehkan.
أما بالنسبة للإخوة أو
للأقارب الآخرين كبني العم يجوز أن يفضل بعضهم على بعض وهو حي صحيح، تصير عطية، إذا قسم
بينهم تصير عطية لا بأس أن يعطي أخاه كذا، ويعطي ابن أخيه كذا، وخاله كذا لا بأس أن يعطيهم، مو على
حسب الميراث،
Pembagian harta untuk saudara atau
kerabat semisal keponakan boleh ada pengistimewaan. Sebagian kerabat itu lebih
banyak dari pada yang lain. Jika pembagian harta untuk kerabat ini dilakukan
manakala yang bersangkutan masih segar waras status hukumnya adalah hibah.
Dalam hibah untuk kerabat boleh ada pengistimewaan, yang satu lebih banyak dari
pada yang lain. Untuk saudara sekian, untuk sepupu sekian dan untuk keponakan
sekian. Pembagian yang tidak adil semisal ini hukumnya boleh, tidak harus
sesuai ketentuan ilmu waris.
ما يلزمه أن يكون على حسب
الميـراث، لأن هذا خاص بالأولاد، الرسول قال: (اتقوا الله واعدلوا بين أولادكم)،
Pembagian harta untuk kerabat itu
tidak harus mengikuti aturan ilmu waris. Aturan ilmu waris hanya berlaku untuk
hibah harta kepada anak.
Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Bertakwalah kepada Allah dan bersikap adillah dalam
hibah harta di antara anak kalian”.
ما قال: اتقوا الله
واعدلوا بين الورثة، قال: (واعدلوا بين أولادكم)،
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak mengatakan, “Bertakwalah kepada Allah dan bersikap
adillah dalam hibah harta di antara ahli waris kalian”. Yang Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam katakan, ”Dan bersikap adillah dalam hibah harta di
antara anak kalian”
فلو كان له أخوان، وأعطى
المال واحدا من إخوانه ولم يعط الآخر لا حرج عليه،
Andai yang bersangkutan memiliki
dua saudara lalu salah satunya dia beri sedangkan saudara yang lain tidak dia
beri maka orang tersebut tidak berdosa.
أو أعطاهما متفاضلين لا
حرج عليه، أو أعطى خاله وخلى بني عمه، أعطى خاله لا بأس، ما دام في الصحة ما هو بمريض
Atau pemberian antara satu saudara
dengan saudara yang lain itu tidak sama, hukumnya juga tidak mengapa. Demikian
pula jika dia berikan harta kepada pamannya tanpa sepupunya hukumnya adalah
tidak mengapa dengan syarat yang bersengkutan ketika menghibahkan harta kepada
kerabat tersebut dalam keadaan sehat, bukan dalam kondisi sakit.
. لكن
الأولى له والذي ينبغي له أن يخلِّي له شيء يعنيه وينفعه حتى لا يمن عليه الناس
ويتصدقوا عليه، إما يخلي المال كله أو يخلي شيء يفيده وينفعه حتى الموت.
Namun yang lebih baik dan yang
sepatutnya dilakukan adalah mensisakan untuk yang bersangkutan sebagian harta
dinilai penting dan bermanfaat baginya sehingga dia tidak berhutang budi kepada
orang lain karena menerima sedekah dari banyak orang. Yang terbaik adalah tidak
melakukan pembagian harta waris ketika masih hidup atau menyisakan sebagian
harta yang bermanfaat dan bisa dimanfaatkan hingga yang bersangkutan tutup
usia”.
Sumber:
http://binbaz.org.sa/mat/13172
Tidak ada komentar:
Posting Komentar